Dingin (Cerpen)

Musik yang kudengarkan belum selesai sampai aku merasakan kedinginan yang tidak biasa. Aku bergegas keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Aku berjalan.... terus berjalan dan aku tidak melihat satupun orang. Sudah jam setengah enam sore aku masih belum melihat adanya tanda-tanda kehidupan. Temanku Margo menelpon ku dan dia berkata akulah satu-satunya orang yang bisa dihubungi. Dia juga berkata tak melihat satu orang pun di lingkungannya kami pun memutuskan untuk bertemu di tempat biasa kami nongkrong.

Taman Vardan tinggal beberapa meter lagi. Aku menaiki sepeda merah ku dan Margo sudah menunggu ku di sana. Kita berdua tetap tenang walau muka Margo terlihat sedikit pucat. Setelah setengah jam berlalu kami mulai mencari lagi apakah masih ada orang yang hidup di lingkungan kami.

Di Jalan Remi kami melihat ada dua anjing yang terlihat kebingungan. Salah satu anjing itu lari dan yang satunya diam tak berkutik. Margo memutuskan untuk mengejar anjing yang kabur dengan harapan ia bisa bertemu dengan majikannya. Sedangkan aku diam di sini sembari menunggu Margo. Lampu rumah di depan tempat aku menunggu tiba-tiba menyala. Aku bergegas masuk. Pintunya tidak terkunci. Hawa dingin kembali kurasakan. Aku mencari apakah ada orang di dalam. Namun hasilnya nihil. Aku hanya menemukan gelang yang mempunyai huruf W ditengahnya, seperti namaku, Wolff. Huruf W itu seakan-akan menandai bahwa akulah pemilik gelang itu. Aku mengambilnya dan memakainya.

Suara lonceng sepeda Margo bisa kudengar dari dalam rumah. Aku bergegas keluar. Dia terlihat kebingungan karena ia berfikir bahwa aku sudah menghilang juga. Dia berkata anjing itu masuk ke dalam rumah berwarna coklat dan dia tidak berani masuk kedalam sendirian, jadi aku dan Margo berjalan menuju rumah itu sembari menceritakan tentang rumah yang lampunya tiba-tiba menyala.

Sesampainya di rumah itu kami berdua langsung masuk ke dalam tetapi tidak ada siapa-siapa di sana bahkan si anjing pun tidak ada di sana. Jadi kami memutuskan untuk melihat ke kamar tidur rumah tersebut. Kami sangat terkejut ketika kami menemukan seorang bapak-bapak yang sedang berdiri tegak berusia kira-kira 40 tahun. Tetapi dia tidak bergerak sedikitpun. Tetapi aku bisa melihat dia masih bisa bernafas dan berkedip. Dia memegang satu bongkah kayu di tangan kanannya, seakan dia sedang berlindung dari sesuatu dan siap untuk menyerang jika ada yang mengganggunya.

Margo berkata sebaiknya kita pergi dari sini. Tetapi aku bertahan karena ini adalah satu-satunya petunjuk yang kami punya. Tetapi Margo meyakinkanku untuk pergi dari rumah itu. Aku pun akhirnya menyetujui permintaannya. Ketika kita membalikkan badan dan siap untuk meninggalkan rumah itu tiba-tiba bapak-bapak itu memukulku di kepala dengan kayu yang dipegangnya hingga aku pingsan.

Ketika aku siuman aku sudah berada di tempat tidurku. Aku bergegas keluar dari kamarku dan melihat apakah keluarga sudah kembali. Mereka semua sedang berada di meja makan bersiap-siap untuk memulai sarapan. Apakah ini mimpi?, aku hanya bisa bertanya kepada diriku. Tapi ada satu hal yang janggal. Gelang dengan huruf W yang kuambil dari rumah itu masih ada di pergelangan tanganku. Aku semakin pusing dengan semua ini. Tetapi aku hanya duduk menunggu ibuku memasak sarapan tanpa membuat ekspresi apapun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jari Terkadang lebih Jahat daripada Mulut (Prosa)

Kesepian (Prosa)